RATUSAN Masyarakat Adat Suku Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat melakukan aksi pemalangan aktivitas pertambangan PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP di kawasan Hutan adat Moleo Ma Bohuku (Tofu), Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku.
Aksi blokade dilakukan oleh masyarakat adat keturunan suku Togutil Habeba yang berada di dua Desa yakni Desa Saolat dan Desa Minamin sejak senin (26/9/2022).
Aksi ini dimulai dengan ritual adat oleh tetua adat dari kedua desa di pesimpangan jalan pertambangan PT WBN dan PT IWIP, Tofu.
Ritual adat ini berlangsung khusuh, setelah tetua adat dari kedua desa ini mengikrarkan sumpah adat. Sumpah adat dalam bentuk ritual adat ini dilaksanakan dengan membacakan doa adat.
Selanjutnya, tanah yang berada di sekitar masyarakat diambil segenggam barulah dibacakan doa oleh kedua tetua adat Desa. Usai doa, tanah-tanah itu dikumpulkan oleh tetua adat dan dimasukan kedalam “Harangata” yaitu pelepah pinang yang dianyam seperti bentuk mangkuk.
Tanah-tanah tersebut lalu dibungkus menggunakan kain berwarna merah yang nantinya akan ditanam disekitar ruas jalan perusahaan.
Isak tangis pun pecah seketika saat tetua adat membacakan sumpah dan janji dalam prosesi ritual adat. Sejumlah warga menangis histeris sambil merunduk dan mencium tanah. Suasana hening seketika.
Selain ritual adat, aksi ini juga diiringi oleh tarian cakalele. Tarian perang masyarakat adat Maluku, khususnya Halmahera. Tarian ini menambah kemeriahan aksi ini yang diikuti oleh irama music tradisional tifa dan hitadi, sejenis bambu.
Ritual ini berakhir dengan prosesi adat “Bugo”. Ritual Bugo ini merupakan puncak dari aksi ritual adat masyarakat adat dari kedua Desa. Meski demikian mereka mengancam akan terus menduduki ruas jalan perusahaan ini sampai adanya jawaban pasti dari dari Perusahaan maupun Pemerintah Daerah terhadap tuntutan mereka.
Ketua adat Desa Minamin, Paulus Papua usai menggelar ritual adat Bugo menyampaikan tujuan melakukan upacara ritual adat ini untuk mempertahankan tanah adat dari leluhur mereka juga untuk mengembalikan kedaulatan untuk pengelolaan hutan adat ini.
“Selama ini tanpa sepengetahuan kami koorporasi pertambangan sudah mengambil alih kerja sama dengan birokrasi, tanpa izin bahkan tidak melibatkan proses tahapan ini dengan masyarakat adat, sehingga kami datang ke tempat ini untuk melakukan ritual adat,” ujarnya.
Ia menjelaskan keberadaan suku mereka yang tanahnya dan hutannya sudah dirampas oleh koorporasi pertambangan nikel yang beroperasi di hutan adat mereka.
“Wilayah tanah ulayat Para-para dan Minamin telah dirampas oleh PT Weda Bay Nikel dan PT IWIP, dan kehadiran kami di tengah hutan ini di tengah tanah ini yang sudah dilakukan ini adalah untuk memblokade seluruh aktivitas operasi pertambangan yaitu pembukaan jalan dan pengeboran dan eskplorasi,” tegasnya.
Sementara itu, Yustinus Papuling, Ketua Adat Desa Saolat (Para-para) mengatakan sebagai masyarakat adat komunitas Hoana Wangaike Minamen Saolat, mereka sudah cukup berusaha agar tuntutan mereka didengar oleh Pemerintah Daerah bahkan semua pihak terkait, di tingkat daerah Kabupaten hingga tingkat Provinsi itu sudah disampaikan namun selalu diabaikan.
“Lewat kesempatan ini saya memohon kepada petinggi Negara yaitu bapak Presiden Joko Widodo untuk bisa memperhatikan nasib, bisa memperhatikan kehidupan dari masyarakat adat yang mendiami Halmahera terutama Halmahera Timur. Karena seperti yang terlihat, yang saat ini diduduki adalah tanah ulayat dari masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat ini itu sudah diambil alih oleh koorporasi pertambangan yang diizinkan oleh birokrasi yang ada di wilayah ini,” pintanya.
Lanjut Yustinus, harapan terbesar masyarakat adat Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat terletak di Pundak bapak Jokowi. Untuk itu Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia bisa mendengar dan bisa mengambil suatu keputusan yang berpihak dan menguntungkan bagi masyarakat adat.
“Kami berharap wilayah yang kami duduki dan blockade ini merupakan wilayah hutan adat suku Togutil Habeba Hoana Wangaike Minamen Saolat dan suku Togutil yang berada di dalam hutan. Saat ini lokasi ini sudah dikeluarkan izin untuk operasi pertambangan. Kami mohon selamatkanlah suku nomaden di Indonesia ini,” harapnya.
Untuk diketahui, Hari ini (sabtu-red) merupakan hari kelima dari aksi pemalangan dan boikot aktivitas pekerjaan jalan raya tambang dan juga aktivitas eksplorasi dari dua perusahaan tambang nikel PT IWIP dan PT WBN di Halmahera Timur, Maluku Utara.
“Kami akan duduki lokasi ini sampai adanya kepastian dari kedua perusahaan PT WBN dan PT IWIP, soal penyerobotan tanah ulayat leluhur kami,” tegas Nove.
Dalam aksinya masyarakat adat melayangkan beberapa tuntutan kepada kedua perusahaan ini. Mereka melarang aktivitas pembuatan jalan maupu aktivitas pertambangan di wilayah adat mereka.
Aksi ini, masyarakat juga memberikan sanksi adat/denda adat kepada kedua perusahaan karena telah menyerobot lahan dan merampas ruang hidup masyarakat kedua desa maupun masayarakat suku togutil atau tobelo dalam.
“Memberikan sanksi/denda adat kepada kedua perusahaan pertambangan PT IWIP dan PT WBN karena sudah merampas ruang hidup masuk hutan adat kami tanpa sepengetahuan kami dan telah merubah struktur bentangan hutan bahkan menghilangkan bukti peninggalan leluhur kami,” tutur Juliath Pihang Perempuan adat Desa Saolat.
Selain menuntut sanksi kepada kedua perusahaan tambang, masyarakat kedua Desa menegaskan agar tidak lagi pembayaran tali asih Kaplingan di atas tanah ulayat mereka.
“Selama ini perusahaan telah membayar tali asih kepada desa yang tidak sedikitpun memiliki hak atas tanah ulayat di lokasi yang mereka pakai,”kata Juliat.
Kaplingan Lahan
Aksi Blokade oleh ratusan masyarakat adat dua Desa yakni Desa Minamin dan Desa Saolat yang tergabung dalam Masyarakat Adat Suku Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat adalah bentuk protes kepada Pemerintah Daerah Kabupaten serta PT Weda Bay Nikel (WBN) dan PT IWIP.
Kedua perusahaan bersama sub kontraktor mereka telah melakukan aktivitas pembongkaran lahan di lokasi tanah ulayat milik kedua Desa tersebut.
Roy Doongor, salah satu pemuda adat Desa Minamin dalam orasinya mengatakan, perusahaan dan sub kontraktornya berusaha melakukan aktivitas di lokasi kedua Desa. Selain itu lokasi komunitas suku Togutil saat ini menurutnya juga telah diganggu, bahkan dibongkar hutan milik mereka.
Ia bahkan menduga, perusahaan telah melakukan pembayaran lahan-lahan tersebut kepada pihak-pihak lain termasuk kelompok-kelompok yang berasal Desa Wayjoy. Desa ini sendiri merupakan desa tetangga dua Desa yang ada.
“Dari informasi, diduga perusahaan telah melakukan pembayaran dalam “tali asih” atau ganti rugi kepada beberapa kelompok di Desa Wayjoy dan Desa Ekor. Per meternya Rp2500. Ini sangat menyakiti kami selaku pemilik hak ulayat leluhur kami,” tukasnya. “Sejumlah aliran dana ganti rugi telah diserahkan kepada mereka”
Dari situlah, kata Roy alasan masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Adat Suku Togutil Habeba, Hoana Wangaeke Minamin Saolat melakukan aksi blockade aktivitas kedua perusahaan Bersama sub kontraktor mereka di Kawasan Hutan Tofu.
“Kami memberikan waktu untuk kedua perusahaan untuk menjelaskan soal tali asih atau ganti rugi kepada mereka yang bukan punya hak atas lahan ulayat ini. Kami ingin segera clear dan trasparan, siapa sebenarnya mafia-mafia tanah ini,” tegasnya.
Untuk diketahui, akibat blokade ini, aktivitas mega proyek dari dua perusahaan nikel ini lumpuh sampai hari ini. Perusahaan sampai saat ini belum memberikan penjelasan soal aktivitas dan juga dugaan penyerobotan yang di lakukan di atas tanah ulayat milik masyarakat adat Para-para (Saolat).