(JOGYAKARTA – YKB GKI) Sri Sultan Hamengku Buwono X berkenan menerima peserta Rapat Kerja Nasional (Rekernas) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah dan Sinode Am Gereja (PGIW-SAG) dari 28 provinsi di Indonesia, di Bangsal Srimanganti, Keraton Yogyakarta, pada Jumat, 12 Agustus 2022.
Dalam kesempatan itu, Gubernur DIY ini menegaskan bahwa keberagaman adalah konsep Tuhan dalam misteri penciptaan alam semesta. Tidak ada satu ciptaan-Nya yang identik sama, pasti ada banyak perbedaan meskipun sekilas nampak sama. Jadi, keberagaman dan pluralitas merupakan realita yang terjadi atas kehendak Sang Adikodrati. Siapa pun yang menolak keberagaman berarti menolak kehendak Tuhan.
Keberagaman bukanlah persoalan dalam persatuan, bahkan sesuatu yang harus kita syukuri. Kesatuan dalam keberagaman itu sudah dibuktikan oleh para pendiri bangsa ini. Sri Sultan menjelaskan bahwa “Sebelum 16 Agustus 1945, Fatmawati, istri Soekarno asal Bengkulu, sebenarnya sudah membuat bendera merah-putih. Tapi hanya 50 sentimeter, meski untuk sebuah Republik yang baru pun, dirasakan kurang Panjang. Sebagai gantinya Fatmawati menjahit dari kain sprei putih, sedangkan kain merahnya dibeli Lukas Kastaryo, pemuda Jawa beragama Katolik, dari penjual soto.
Lalu jadilah bendera pusaka Sang Saka Merah Putih berukuran (276×200) sentimeter. Yang kemudian dibawakan di atas nampan oleh Ilyas Karim, pemuda Minang, didampingi Suhud dan Singgih, dua pemuda Jawa, dikibarkan dengan tiang bambu sederhana oleh Latif Hendraningrat, prajurit PETA, keturunan Jawa asli Batavia. Kelak, sebelum ditangkap, Bung Karno menitipkan Sang Saka kepada Husein Mutahar, seorang Arab.”
Lebih jauh Sri Sultan lebih lanjut menjelaskan, terdapat tiga aspek dalam merajut keberagaman di Indonesia yakni bahasa, agama, dan kepercayaan. Ketiganya dapat semakin kokoh jika dilandasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. “Bhinneka Tunggal Ika jangan hanya dijadikan mitos, tetapi hendaknya dijadikan etos bangsa untuk ‘memperkokoh kebangsaan’ di tengah tarikan globalisasi budaya,”.
Rakernas PGIW-SAG dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 11-14 Agustus 2022. Seluruh kegiatan dipusatkan di Auditorium Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta.
Putri Gus Dur dan Tokoh Islam beri ceramah bagi peserta juga
Alissa Wahid, mewakili Ketua Umum PBNU, memulai paparannya dengan mengutip pernyataan Gus Dur bahwa “Indonesia ada karena keberagaman. Tanpa keberagaman tak ada Indonesia.” Indonesia adalah gagasan yang mengikat kita sebagai negara. Untuk mempertahankan gagasan diperlukan ada upaya perawatan yang bersengaja dan serius. Kita tak boleh tenang-tenang sengaja dan beranggapan bahwa Indonesia akan tetap ada tanpa kita merawatnya.
Pada bagian lain pemaparannya, Pendiri Jaringan Gusdurian ini mengingatkan bahwa di era sekarang, minat, gagasan, dan nilai lebih kuat dari ikatan darah. Sekarang muncul ras baru yang diikat oleh kesamaan gagasan, minat, dan nilai ini. Maka agama-agama perlu memberi perhatian pada ketiga hal ini.
Di sesi lain, Pdt. Jacky Manuputty menyatakan bahwa salah satu tugas penting agama-agama di Indonesia saat ini adalah memverifikasi apakah yang disebut kebenaran itu benar-benar adalah kebenaran. Sebab, lanjut Sekum MPH PGI ini, melalui perkembangan teknologi komunikasi, kebenaran itu bisa difabrikasi. Yang salah bisa diubah menjadi kebenaran. Pernyataan yang bersifat provokatif dan bermusuhan, dengan bantuan teknologi, dapat diedit begitu rupa dan ditempatkan di mulut tokoh tertentu, sehingga seolah-olah dikatakan oleh tokoh tertentu. Fabrikatornya berupaya agar masyarakat percaya bahwa pernyataan yang bersifat provokatif dan bermusuhan ini benar-benar dikatakan oleh tokoh tertentu itu. Tujuannya adalah menimbulkan kegaduhan, bahkan permusuhan. Karena itu, usaha untuk memverifikasi kebenaran itu harus benar-benar diperhatikan oleh para pemimpin agama.
Prof. Safiq Mughni, mewakili Muhammadiyah, menyatakan bahwa kita menghadapi tantangan di masyarakat berupa kesenjangan antara agama dan religiositas. Menghadapi kesenjangan ini, agama tidak boleh hanya mengajarkan kesalehan ritual, tetapi juga kesalehan sosial. Lebih lanjut ia menyatakan berbagai persoalan bangsa yang disebut sebagai persoalan agama, sebenarnya bukanlah masalah agama, tetapi hal-hal di luar itu yg menyeret agama demi kepentingan tertentu.
Prof. Safiq menutup pemaparannya dengan pernyataan bahwa agama seharusnya dijadikan kekuatan utk melakukan perubahan sosial.
Di sesi tanya jawab, Alissa mengajak semua peserta Rakernas untuk memenangkan pertarungan narasi di berbagai media. Dan untuk ini, para pemimpin agama harua benar-benar bekerja keras untuk membangun narasi-narasi damai. Sementara Pdt. Jacky mengingatkan perlunya berbagi tugas dalam upaya merajut keberagaman dan meneguhkan kebangsaan Indonesian yang beradab. Ada yang berjuang di level penetapan kebijakan dan perundang-undangan, ada yang berkarya untuk membangun jejaring dengan semua pihak yang bertujuan sama, ada juga yang berkarya di lapangan.(YKB/EDP)