WhatsApp Image 2025 03 23 at 13.23.25

Catatan: tulisan ini ditujukan kepada pembaca Kristen.

Negara Suriah (Syria) kembali bergejolak pada awal Maret 2025. Perang di negara itu telah berlangsung sejak tahun 2011, bermula ketika kelompok masyarakat yang menentang kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad turun ke jalan untuk menuntut reformasi. Demonstrasi damai itu kemudian berubah menjadi demonstrasi berdarah. Akhirnya, Suriah menjadi medan perang bagi sejumlah negara dan kelompok pemberontak selama lebih dari satu dekade. Berdasarkan data terverifikasi dari The Syrian Network for Human Rights, konflik Suriah telah menggugurkan lebih dari 231 ribu nyawa sejak Maret 2011 sampai Juni 2024 (SNHR 2024).

Pada Desember 2024, sempat muncul harapan akan terwujudnya perdamaian di tanah Suriah, jatuhnya Presiden Bashar al-Assad sempat membuat masyarakat Suriah memasuki masa bulan madu pasca-perang untuk sejenak. Malangnya, kurang lebih tiga bulan dipimpin Pemerintah Transisi, negara itu kembali bergejolak pada awal Maret 2025 akibat bentrokan antara aparat pemerintah dan kelompok pendukung Bashar al-Assad. Menurut laporan jurnalis The Guardian, sampai tanggal 10 Maret 2025, hanya dalam lima hari, konflik bersenjata tersebut telah menewaskan lebih dari 1.000 orang, termasuk 745 warga sipil (The Guardian 2025). Gejolak ini kemudian menarik perhatian masyarakat internasional karena dugaan terjadinya pembantaian terhadap kelompok minoritas di wilayah barat laut Suriah.

Beberapa negara segera mengeluarkan pernyataan resmi untuk mengecam pembantaian di Suriah. Melalui laman resmi pemerintah, Secretary of State Amerika Serikat, mengecam kekerasan terhadap kelompok minoritas. Selain itu, Kementerian Luar Negeri Prancis juga mengutuk kekejaman tersebut, dalam pernyataan resmi disebutkan, “Pemerintah Prancis mengutuk kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil berdasarkan sentimen keagamaan.” Dari pernyataan-pernyataan itu, pemerintah Amerika Serikat dan Prancis tampaknya dapat mengonfirmasi adanya pembantaian terhadap kelompok minoritas di Suriah. Pertanyaannya, kelompok minoritas yang mana?

Media arus utama internasional, seperti The Guardian dan Al Jazeera, melaporkan bahwa mayoritas korban dalam pembantaian minoritas di Suriah adalah kelompok Alawi — cabang dari Islam Syiah. Amnesty International juga membenarkan bahwa kelompok Alawi menjadi target utama pembantaian sebab mantan Presiden Bashar al-Assad berasal dari kelompok ini (Amnesty International 2025). Akan tetapi, di media sosial justru beredar desas-desus bahwa pembantaian minoritas di Suriah juga menargetkan umat Kristen, terlebih setelah beredar video pria baju merah bertopeng yang memohon bantuan masyarakat internasional serta beredarnya foto-foto yang dinarasikan sebagai penganiayaan dan pembantaian terhadap umat Kristen. Hal itu membuat masyarakat Kristen internasional bereaksi untuk menunjukkan solidaritas kepada saudara seiman.

Namun, beberapa foto dan video yang digunakan untuk menarasikan pembantaian umat Kristen di berbagai media sosial kemudian terkonfirmasi sebagai berita palsu atau disinformasi (DW 2025). Hal itu sejalan dengan pernyataan Jacques Mourad, Uskup Agung Katolik Suriah di Homs, untuk koran berbahasa Prancis La Croix. Uskup Agung Mourad menegaskan bahwa pembantaian kelompok minoritas pada awal Maret tidak secara khusus menargetkan umat Kristen atau didorong sentimen keagamaan. Meski begitu, Uskup Agung Mourad membenarkan bahwa 12 orang korban pembantaian tersebut beragama Kristen. Mereka dibunuh bukan karena beragama Kristen, tetapi karena mereka tinggal di lingkungan orang Alawi (La Croix 2025).

Sampai tanggal 16 Maret 2025, Pemerintah Transisi Suriah belum mengeluarkan pernyataan resmi mengenai jumlah dan latar belakang para korban pembantaian pada awal Maret 2025. Karena itu, nasib kelompok minoritas Kristen di Suriah masih belum dapat dipastikan — apakah mereka terancam atau secara khusus menjadi target dalam pembantaian tersebut.

Meskipun umat Kristen di Suriah tidak menjadi target dalam konflik yang sedang berlangsung saat ini, dukungan dari umat Kristen dunia tetap penting, sebab selama Perang Suriah berlangsung umat Kristen Suriah termasuk salah satu kelompok minoritas paling rentan (vulnerable group). Laporan berjudul Report on International Religious Freedom: Syria yang dirilis Pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan bahwa sebelum perang dimulai estimasi jumlah populasi umat Kristen di Suriah sekitar 2,2 juta jiwa, tragisnya jumlah tersebut berkurang drastis, tersisa sekitar 638 ribu jiwa pada tahun 2022.

Umat Kristen memang bukan satu-satunya kelompok minoritas yang menjadi korban dalam perang saudara di Suriah, tetapi pembantaian, penculikan, dan persekusi memaksa mereka meninggalkan negara tersebut, karena itu populasi umat Kristen Suriah terus menurun. Salah satu pembantaian terhadap umat Kristen Suriah yang menarik perhatian internasional adalah pembantaian di Kota Sadad pada tahun 2013.

Suriah hanya satu contoh negara di mana umat Kristen mengalami persekusi. Saat ini ada jutaan orang Kristen di berbagai negara yang hidup dalam penindasan karena imannya. Sejak dekade 1990-an, persisnya setelah Perang Dingin berakhir, muncul banyak kajian akademis tentang konflik atau kekerasan berbasis agama dari berbagai disiplin ilmu, termasuk Ilmu Hubungan Internasional, mengingat konflik di tingkat lokal seperti yang terjadi di Suriah bisa berdampak secara internasional. Kajian-kajian tersebut didorong oleh fakta empiris jumlah konflik berbasis agama yang terus meningkat. Fakta tersebut sekaligus membantah pandangan bahwa agama tidak relevan lagi dalam pembicaraan terkait manusia modern yang rasional.

Apakah Agama Masih Relevan dalam Masyarakat Modern?

Pertanyaan di atas telah coba dijawab lewat berbagai pendekatan, baik secara reflektif, filosofis, maupun empiris (akademis) yang — secara umum — menghasilkan dua jawaban berbeda. Jawaban dari kelompok pertama adalah: agama tidak relevan dalam masyarakat modern. Kelompok ini dapat diwakili oleh Max Weber lewat konsep Sekularisasi dan Disenchantment of the World (Entzauberung der Welt), bahwa modernitas, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas manusia pada akhirnya akan menggantikan pandangan yang bersifat religius atau mistik. Dengan kata lain, perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi akan menciptakan masyarakat modern yang bertindak secara rasional tanpa dipengaruhi oleh agama.

Di sisi lain, ada kelompok yang berpendapat bahwa agama akan tetap relevan dalam masyarakat modern, justru masyarakat modern hanya bisa dipahami lewat agama. Perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas manusia tidak akan memengaruhi relevansi agama dalam masyarakat modern. Konsep Post-Sekularisme dari Jürgen Habermas dan konsep Desekularisasi dari Peter L. Berger, dapat mewakili argumentasi kelompok intelektual ini. Habermas berpendapat: “You can’t understand the modern world unless you understand the importance of religious faith …” (Habermas 2008). Sementara itu, Peter L. Berger menulis: “The assumption that we live in a secularized world is false. The world today, with some exceptions to which I will come presently, is as furiously religious as it ever was, and in some places more so than ever.” (Berger 1999). Secara tegas, dua pemikir tersebut membantah pandangan yang menyatakan masyarakat modern telah menjadi semakin sekuler dan agama perlahan-lahan akan ditinggalkan. Menariknya, Jürgen Habermas dan Peter L. Berger adalah dua pemikir besar yang awalnya berada pada kelompok pertama, tetapi merevisi pandangannya kemudian.

Tulisan ini berangkat dari perspektif kedua: agama tetap relevan. Selain bertumpu pada argumen yang dipaparkan sebelumnya, fakta empiris jumlah konflik berbasis agama yang terus meningkat menyebabkan Penulis berkeyakinan bahwa agama masih relevan dalam berbagai konteks kehidupan masyarakat modern, khususnya terkait konflik. Perang Bosnia, Perang Saudara Republik Afrika Tengah, Peristiwa 9/11 di Amerika Serikat, penembakan terhadap umat Islam di Christchurch (Selandia Baru), kemunculan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) serta Boko Haram di Nigeria adalah bukti meningkatnya konflik berbasis agama setelah Perang Dingin. Hal yang sama juga terjadi Indonesia pasca-Orde Baru, diakui atau tidak, Konflik Poso, Maluku dan Maluku Utara, serta serangan kelompok teroris di beberapa tempat di Indonesia adalah contoh konflik yang melibatkan sentimen keagamaan.

Era Benturan Peradaban

Secara konkret, argumentasi relevansi agama dalam kehidupan masyarakat modern dapat dilihat melalui analisis para sarjana Ilmu Sosial, salah satunya adalah Samuel P. Huntington, seorang pakar Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dunia yang pada tahun 1996 menerbitkan sebuah buku berjudul “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”. Terlepas dari perdebatan yang muncul setelah buku tersebut diterbitkan, pengaruh buku tersebut sangat besar, buku tersebut telah menjadi buku wajib bagi mahasiswa politik dan hubungan internasional dunia. Dalam tulisannya Huntington berargumen bahwa setelah berakhirnya Perang Dingin, budaya adalah sumber utama konflik di dunia. Dalam konteks ini, budaya berkaitan erat dengan perabadan, dan inti (core) dari perabadan adalah agama (Huntington 2011; Jackson dan Sørensen 2015). Dengan kata lain, sejak dasawarsa 1990-an dan seterusnya, sumber utama konflik di dunia adalah agama. Sayangnya, argumen sekaligus prediksi Huntington tersebut menjadi kenyataan.

Saat ini tidak ada angka pasti terkait jumlah konflik dengan sentimen keagamaan yang dirilis oleh lembaga independen serta kredibel, selain karena konflik-konflik tersebut umumnya bersifat lokal, setiap konflik juga memiliki kompleksitasnya masing-masing. Meski begitu, melihat fakta yang ada, tidak dapat dimungkiri bahwa jumlah konflik yang melibatkan sentimen keagamaan terus meningkat. Karena itu, pada tahun 2019 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 22 Agustus sebagai ‘Hari Internasional untuk Mengenang Korban Tindak Kekerasan Berdasarkan Agama atau Kepercayaan’.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika menyebut — meminjam istilah dari Huntington — bahwa, saat ini manusia sedang hidup pada era clash of civilizations (benturan peradaban).

Para “Martir” Kristen di tengah Benturan Peradaban

Umat Kristen tidak hanya mengalami persekusi dan diskriminasi di Suriah. Pew Research Center, sebuah lembaga riset internasional independen, yang setiap tahun rutin merilis laporan terkait persekusi terhadap kelompok agama di berbagai negara, dalam laporannya menunjukkan bahwa umat Kristen adalah kelompok yang paling banyak mengalami persekusi. Pada tahun 2022 saja, terjadi persekusi umat Kristen di 166 negara oleh pemerintah setempat atau kelompok sosial tertentu. Pew Research Center mengidentifikasi persekusi tersebut berbentuk penghancuran properti (termasuk tempat ibadah), penangkapan paksa (penculikan), kekerasan fisik, dan pembunuhan (Pew Research Center 2024).

Secara lebih spesifik, data terkait persekusi umat Kristen dapat dilihat melalui laman resmi organisasi Open Doors (diakses lewat: opendoorsuk.org). Organisasi ini merupakan organisasi internasional Kristen non-denominasi yang fokus memantau dan mengadvokasi korban persekusi terhadap umat Kristen di dunia. Berdasarkan data dari lembaga tersebut, saat ini lebih dari 380 juta umat Kristen di dunia sedang mengalami persekusi dan diskriminasi. Pada tahun 2024 saja teridentifikasi 4.476 orang Kristen dibunuh karena imannya, serta lebih dari 209 ribu dipaksa meninggalkan rumahnya sebagai pengungsi karena konflik, persekusi, dan diskriminasi. Open Doors juga membuat daftar 50 negara di mana umat Kristen paling rentan mengalami persekusi. Korea Utara menduduki peringkat pertama sebagai negara yang paling mempersekusi umat Kristen, Somalia di urutan kedua, secara berturut-turut pada urutan ketiga sampai kesepuluh adalah Yaman, Libya, Sudan, Eritrea, Nigeria, Pakistan, Iran, dan Afghanistan.

Korea Utara

Bukan tanpa alasan Open Doors menempatkan Korea Utara sebagai negara yang paling mempersekusi umat Kristen, sebab menjadi seorang Kristen di Korea Utara dianggap sebagai kejahatan terhadap negara. Seseorang bisa ditembak di tempat atau dihukum kerja paksa sebagai penjahat politik jika teridentifikasi beragama Kristen. Diperkirakan ada sekitar 400 ribu pengikut Yesus di Korea Utara, tetapi tak ada satu pun gereja yang diizinkan berdiri untuk mereka. Alkitab dan segala hal yang berkaitan dengan Kekristenan dilarang beredar di negara itu (Open Doors 2025). Selain itu, terjadi juga kasus penangkapan dan persekusi terhadap misionaris Kristen di wilayah Korea Utara, misalnya penangkapan Pendeta Hyeon Soo Lim tahun 2015 yang kemudian dihukum penjara seumur hidup dan penangkapan misionaris Kenneth Bae tahun 2015 — kemudian dihukum 15 tahun penjara. Meskipun dua misionaris tersebut kemudian dibebaskan karena tekanan internasional, saat ini masih banyak misionaris Kristen yang dipenjara oleh pemerintah Kim Jong Un.

Nigeria

Berbeda dengan Korea Utara di mana umat Kristen mengalami persekusi dari pemerintah, di Nigeria jutaan umat Kristen hidup dalam penganiayaan kelompok ekstrimis. Sejak tahun 2000, kurang lebih 62 ribu umat Kristen telah dibunuh oleh kelompok teroris Boko Haram, Islamic State West Africa Province, dan milisi Fulani (Genocide Watch 2024). Selain pembunuhan, belasan ribu gereja serta sekolah Kristen juga dihancurkan oleh kelompok ekstrimis di Nigeria (The Catholic Herald 2024). Salah satu pembantaian umat Kristen yang menarik perhatian media internasional adalah peristiwa Natal Berdarah tahun 2023, ketika sekitar 140 umat Kristen dibantai pada hari natal di wilayah Plateau (Associated Press 2023). Pembantaian umat Kristen di Nigeria belum berhenti sampai saat ini, kasus terbaru adalah pembantaian pada hari natal tahun 2024 di wilayah Beneu yang menewaskan sekitar 47 jiwa (ACN 2025).

Umat Kristen terus mengalami persekusi di Nigeria dalam berbagai bentuk, baik penghancuran tempat ibadah, pembantaian, penculikan, dan pemerkosaan. Sayangnya, penderitaan mereka jarang menjadi sorotan masyarakat internasional, khususnya umat Kristen dunia, padahal salah satu sebab penderitaan mereka adalah iman yang setia mereka pegang. Kisah seorang gadis bernama Leah Sharibu barangkali bisa mewakili cerita pahit persekusi pengikut Kristus di Nigeria.

Iman Seorang Leah Sharibu

Pada 19 Februari 2018, kelompok teroris Boko Haram menculik 110 anak perempuan berusia 11–19 tahun dari sebuah sekolah di wilayah Dapchi. Anak-anak tersebut ditawan dan baru dibebaskan satu bulan kemudian pada 21 Februari 2018. Seluruh anak perempuan yang ditawan berhasil bebas kecuali seorang gadis berusia 15 tahun bernama Leah Sharibu. Menurut berita terverifikasi yang dirilis media-media internasional, Leah Sharibu tidak dibebaskan Boko Haram karena Leah menolak untuk berpindah agama. Berdasarkan keterangan teman-temannya yang kemudian dibebaskan, Leah memilih untuk memegang imannya meskipun harus tetap ditawan. Tidak seperti teman-temannya, Leah seorang diri saja yang menolak mengucapkan kalimat tertentu serta enggan menggunakan hijab, padahal dua hal itu adalah syarat agar mereka dibebaskan. Dia lebih baik dibunuh daripada melakukannya, karena itu bukan keyakinannya (The Guardian 2018).

Sampai bulan Maret 2025, ketika usianya hampir 22 tahun, Leah Sharibu masih menjadi tawanan Boko Haram. Banyak rumor beredar mengenai kondisi Leah, beberapa sumber yang menyebut Leah dipaksa menjadi budak; ada juga yang menyebut Leah dipaksa berpindah agama, dipaksa menikah dengan komandan Boko Haram dan kini sudah melahirkan dua anak; tetapi, rumor tersebut tidak dapat diverifikasi. Keberadaan dan keadaan Leah Sharibu yang sebenarnya masih menjadi tanya.

Refleksi

Umat Kristen terus mengalami penganiayaan di banyak negara. Beberapa negara yang dibahas sebelumnya hanya sekian dari kenyataan yang terjadi. Di wilayah Manipur (India), Somalia, Azerbaijan, Sudan, Kazakhstan, Palestina, dan banyak negara lain, umat Kristen terus hidup dalam persekusi dan diskriminasi.

Tulisan singkat ini tidak bermaksud menempatkan umat Kristen sebagai korban yang paling teraniaya (playing the victim card), tetapi pemberitaan media arus utama yang cenderung hati-hati dalam menempatkan umat Kristen sebagai korban persekusi membuat persekusi umat Kristen di banyak negara cenderung tidak terdengar secara internasional. Kehati-hatian pemberitaan media internasional tersebut dapat dipahami, mengingat konflik yang melibatkan sentimen keagamaan atau kelompok agama tertentu umumnya sangat kompleks dan akar masalahnya tidak serta-merta bisa direduksi menjadi masalah iman saja; perlu investigasi, penelitian, serta analisis yang lebih mendalam untuk itu. Namun, kompleksitas setiap konflik yang sedang terjadi pada era benturan peradaban, tidak menghapus fakta bahwa ada jutaan umat Kristen di dunia sedang mengalami persekusi dan terjebak di tengah konflik karena iman mereka.

Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran (raising awareness) sekaligus refleksi untuk umat Kristen bahwa sampai detik ini, ada jutaan ‘martir’ Kristen di banyak negara, mereka yang hidup dalam penindasan karena percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; suara-suara mereka tidak terdengar, mereka sedang dilupakan oleh saudara seiman mereka di belahan dunia lain.

Sebagai bagian dari masyarakat Kristen internasional, jika kita tidak memiliki kemampuan untuk membantu mereka secara langsung, sudah sepatutnya para ‘martir’ tersebut ada di dalam doa kita, sebab mendoakan saudara seiman kita, khususnya mereka yang teraniaya, adalah kewajiban (Gal 3:27–28; Yak 5:16).

Khusus untuk Suriah, tanah itu adalah saksi terjadinya beberapa peristiwa penting dalam Alkitab Perjanjian Baru. Pertobatan Saulus (Paulus) terjadi di dekat Kota Damsyik (saat ini Damaskus, ibu kota negara Suriah) ketika ia berencana untuk membantai umat Kristen di sana (Kis 9:1–19). Selain itu, Suriah juga penting dalam sejarah umat Kristen karena Antiokhia (wilayah Suriah yang dianeksasi Turkiye tahun 1939) merupakan tanah kelahiran penulis Injil Lukas, serta tempat pertama kalinya gereja mula-mula disebut sebagai “Kristen” (Kis 11:26).

Selesai.

Early Sahureka S Sos, M Sos (Halmahera, Maret 2025) Alumni Pasca sarjana Hubungan Internasional UPH Jakarta

WhatsApp Image 2025 03 23 at 13.43.22

Referensi

Website/Berita

Amnesty International. Syria: Horrific killings of civilians on northwest coast must be investigated. Maret 10, 2025. https://www.amnesty.org/en/latest/news/2025/03/syria-horrific-killings-of-civilians-on-northwest-coast-must-be-investigated/ (diakses pada 16 Maret 2025).

Asadu, Chinedu. Associated Press. 27 Desember 2023. https://apnews.com/article/nigeria-plateau-herdsmen-farmers-attack-9e9e9cf4615f6e31053881e8d2233bca (diakses pada 16 Maret 2025).

Balog, Amy. Aid to the Church in Need. 23 Januari 2025. https://acnuk.org/news/nigeria-dozens-of-christians-killed-last-month/?srsltid=AfmBOordAiINF8Szn7YkbqH35c-Uzi-tvjzRdiL19x7qizX5EAjEbZzT (diakses pada 16 Maret 2025).

Chimtom/Crux, Ngala Killian. The Catholic Herald. 19 Januari 2024. https://thecatholicherald.com/africans-praise-lord-alton-for-demanding-action-against-genocide-of-nigerian-christians/ (diakses pada 16 Maret 2025).

Christou, William. The Guardian. 10 Maret 2025. https://www.theguardian.com/world/2025/mar/10/deadly-clashes-between-syrian-security-and-assad-loyalists-what-we-know-so-far (diakses pada 16 Maret 2025).

France Ministry for Europe and Foreign Affairs. 8 Maret 2025. https://uk.ambafrance.org/France-expresses-deep-concern-about-violence-in-Syria (diakses pada 16 Maret 2025).

Genocide Watch. 62,000 Nigerian Christians murdered since 2000. Februari 29, 2024. https://www.genocidewatch.com/single-post/nigeria-s-silent-slaughter-62-000-christians-murdered-since-2000 (diakses pada 16 Maret 2025).

Lasserre, Matthieu. La Croix. Maret 10, 2025. https://www.la-croix.com/religion/massacre-en-syrie-les-chretiens-ont-ils-ete-cibles-par-les-groupes-armes-20250310 (diakses pada 16 Maret 2025).

Maclean, Ruth. The Guardian. Maret 24, 2018. https://www.theguardian.com/world/2018/mar/24/boko-haram-kept-one-dapchi-nigeria-girl-who-refused-to-deny-her-christianity (diakses pada 16 Maret 2025).

Open Doors. 2025. https://www.opendoors.org/en-US/persecution/countries/north-korea/ (diakses pada 16 Maret 2025).

SNHR. Civilian Death Toll. Agustus 30, 2024. https://snhr.org/blog/2024/08/30/civilian-death-toll/ (diakses pada 16 Maret 2025).

U.S. Department of State. 2022 Report on International Religious Freedom: Syria. U.S. Department of State, 2022.

— . The Escalation of Fighting and Civilian Deaths in Syria. Maret 9, 2025. https://www.state.gov/the-escalation-of-fighting-and-civilian-deaths-in-syria/ (diakses pada 16 Maret 2025).

Wesolowski, Kathrin, Emad Hassan, and Afrose Jahan. Deutsche Welle (DW). Maret 11, 2025. https://www.dw.com/en/violence-syria-alawites-fact-check-social-media-claims/a-71879244 (diakses pada 16 Maret 2025).

Buku/Jurnal/Laporan

Berger, Peter L. The Desecularization of the World. Washington, D. C.: The Ethics and Public Policy Centre, 1999.

Center, Pew Research. Government Restrictions on Religion Stayed at Peak Levels Globally in 2022. Pew Research Center, 2024.

Habermas, Jürgen. “Notes on Post-Secular Society.” New Perspective Quarterly Vol. 25, Issue 4, 2008: 17–29.

Huntington, Samuel P. The Clash of Civilizations and the Remaking of W

By admin